Beranda | Artikel
Duh, Sial Lagi…
Kamis, 18 Februari 2021

<<<>>> 

 

  1. Semua hal yang terjadi, baik kebaikan maupun keburukan, sudah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Kita yakini semuanya datang dari Allah.
  2. Anggapan sial tidak akan mengubah takdir Allah atas diri kita.
  3. Anggapan sial merupakan bentuk berburuk sangka kepada Allah dan lemahnya tawakkal pelakunya.
  4. Hukum beranggapan sial dapat berupa syirik besar atau kecil.
  5. Jika sekadar terbetik rasa takut tertimpa musibah karena melihat suatu hal yang dianggap membawa sial, lalu kita abaikan dan terus melaksanakan urusan yang sudah kita rencanakan, maka tidak masalah.
  6. Obat untuk lepas dari keterkaitan hati dengan mitos-mitos sial :
    – Tawakkal
    – Berbaik sangka kepada Allah
    – Memperbesar harapan kepada Allah Yang Maha Pengasih
  1. Doa kaffarah anggapan sial:
    “Allahumma laa khaira illaa khairuka wa laa thayra illaa thayraka wa laa ilaaha ghayruka”

 (H.R. Ahmad)

 

<<<>>> 

 

Bila ada burung gagak yang hinggap di atap rumah tertentu, artinya orang yang menempati rumah tersebut akan ada yang meninggal…

 

Bisa jadi sebagian dari kita pernah mendengar ungkapan seperti di atas. Keyakinan bahwa hal tertentu tertentu bisa mendatangkan sial dan petaka seperti ini dapat dijumpai hampir di setiap kelompok masyarakat di dunia.

 

Banyak orang meyakini bahwa angka 13 membawa sial, sehingga beberapa gedung pencakar langit tidak punya lantai 13. Masyarakat Indonesia pun punya banyak anggapan sial semacam ini, semisal kejatuhan cecak, menabrak kucing, melaksanakan hajatan di tanggal tertentu, dan lain sebagainya. Ada beragam anggapan sial yang dapat kita temui dari kebudayaan masyarakat dari Sabang sampai Merauke.

 

Lantas, bagaimana pandangan Islam soal anggapan sial?

 

Jika pertanyaan seperti ini melintas di benak Anda, izinkan saya untuk mengucapkan selamat untuk Anda. Iman di dalam hati menuntun Anda tergerak untuk mencari tahu kebenaran. Begitulah sifat orang beriman, ingin agar tiap tindak tanduknya di dunia selalu berada di atas ajaran Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak keluar dari aturan yang digariskan oleh syariat Islam, ingin agar tiap hembusan nafas membuat Allah ridha terhadap dirinya.

 

Orang-orang Arab Jahiliyah dahulu jika hendak melaksanakan hajat, entah itu safar, usaha dagang, atau pun urusan penting lain, lantas mereka melihat burung, mereka akan perhatikan arah terbang burung tersebut. Jika terbang ke arah kanan, mereka anggap itu pertanda baik dan akan mereka teruskan hajat yang ingin mereka laksanakan. Namun jika terbang ke arah kiri, itu pertanda sial menurut mereka lalu mereka tunda atau batalkan rencana mereka hari itu. Praktik semacam ini disebut tathayyur atau thiyarah. Kemudian makna kata ini meluas sehingga tidak hanya mencakup anggapan sial yang dikaitkan dengan burung saja, tetapi semua anggapan sial yang dikaitkan dengan hal apa saja baik lewat penglihatan, pendengaran, maupun pengetahuan (Al Qaulul Mufid, jil. 2 hal. 77).

 

Mengenai hal ini, Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada anggapan sial yang dapat memberikan pengaruh” (H.R. Al Bukhari dan Muslim).

 

Semua hal yang kita alami, entah itu kebaikan maupun keburukan, sudah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Kita yakini semuanya datang dari Allah.

 

Tatkala Fir’aun mendapatkan musibah, wabah, paceklik, dan berbagai kesusahan menimpa dirinya dan negerinya, dia menganggap Nabi Musa dan para pengikutnya sebagai pembawa sial dan dalang terjadinya berbagai musibah. Lantas, Allah batalkan aqidahnya ini dengan mengatakan,

 

“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Q.S. Al A’raf: 131).

 

Kebaikan dan keburukan yang menimpa kita tidak ada hubungannya dengan hewan tertentu, atau hari tertentu. Anggapan sial kita tidak akan mengubah dan mempengaruhi takdir Allah atas diri kita. Jika Dia takdirkan usaha kita pada hari itu berhasil, usaha kita akan tetap berhasil walaupun kita bertemu seratus ekor kucing hitam di jalan, misalnya. Jika kita belum ditakdirkan mati pada hari itu, kita tidak akan mati meskipun seribu ekor gagak hinggap di atap rumah kita.

 

Di samping itu, anggapan sial merupakan bentuk berburuk sangka kepada Allah dan lemahnya tawakkal pada diri pelakunya.

 

Baiklah, lalu apa hukumnya?

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan dalam sabda beliau yang lain, “Anggapan sial itu syirik. Anggapan sial itu syirik. Anggapan sial itu syirik” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Tirmidzi).

 

Syirik di sini apakah maksudnya syirik besar sehingga pelakunya batal Islamnya ataukah syirik kecil yang tidak membatalkan iman? Ini perlu dirinci:

 

Pertama, meyakini bahwa objek atau peristiwa yang dianggap membawa sial itu mendatangkan kesialan dengan sendirinya dan bukan bersumber dari Allah. Misalnya, meyakini bahwa semata-mata kejatuhan cecak adalah sumber malapetaka. Jika seperti ini, hukumnya syirik besar dan pelakunya keluar dari Islam.

 

Kedua, meyakini bahwa objek atau peristiwa yang dianggap membawa sial hanyalah sebab kesialan dan malapetaka atau hanyalah isyarat dan pertanda datangnya takdir buruk, sembari meyakini bahwa malapetaka dan mudharat itu tetap datang dari Allah. Jika seperti ini, hukumnya syirik kecil. Meskipun tidak membatalkan iman pelakunya, namun syirik kecil tetap dosa yang sangat berbahaya.

 

Kaidah dalam hal ini,

 

“Menjadikan sesuatu sebagai sebab padahal ia bukan sebab termasuk dalam syirik kecil”

 

Allah tidak pernah menegaskan bahwa gagak, misalnya, merupakan pertanda datangnya takdir buruk. Jadi, meyakininya sebagai pertanda takdir buruk termasuk perbuatan menjadikan suatu hal sebagai sebab datangnya keburukan, padahal dia bukan sebab terjadinya keburukan. Berbeda halnya dengan meyakini bahwa mengoperasikan handphone saat sedang mengemudi dapat menjadi penyebab kecelakaan atau meyakini bahwa mendung merupakan pertanda datangnya hujan.

 

Tunggu dulu…

 

Mitos-mitos seperti itu sebenarnya hanyalah cara orang-orang zaman dahulu mengajarkan moral.

 

Ya, tidak kita pungkiri. Misalnya, mitos bahwa makan di depan pintu menyebabkan jodoh tak kunjung datang karena hal tersebut termasuk perbuatan yang tidak sopan.

 

Mitos-mitos sial ada yang berakar dari kepercayaan terhadap hal-hal ghaib tertentu, ada juga yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat di zaman munculnya mitos tersebut. Misalnya, memotong kuku di malam hari bisa menyebabkan salah seorang anggota keluarga mati. Di zaman dahulu, tidak ada penerangan yang memadai di malam hari dan memotong kuku waktu itu menggunakan benda-benda yang tajam. Belum ada gunting kuku seperti sekarang.

 

Tentunya, meyakini hal ini di zaman sekarang sudah tidak relevan lagi. Di samping itu, kepercayaan pada hal-hal mistis yang sudah sangat mengakar kuat di masyarakat Indonesia menyebabkan banyak orang masih terus mematuhi mitos seperti ini tanpa tahu asal muasalnya. Yang tertinggal hanyalah kepercayaan pada hal ghaib yang dikandung oleh mitos tersebut.

 

Kita mendukung pengajaran dan praktik moral dan akhlak mulia. Akan tetapi, keyakinan yang tidak sesuai syariat Islam harus dikoreksi.

 

Jadi, Anda menuduh orang-orang tua kita dahulu musyrik?

 

Tidak. Kita sedang berusaha mengoreksi perbuatan dan keyakinan, bukan memvonis pribadi para pendahulu kita. Kita harus memisahkan pembahasan antara pelaku suatu perbuatan dan hukum perbuatan itu sendiri.

 

Kalau sudah terlanjur, bagaimana?

 

Patut kita perhatikan, tolak ukur anggapan sial yang dihukumi syirik ialah jika anggapan sial itu membuat kita batal melaksanakan urusan dan rencana kita. Adapun jika sekadar muncul dalam hati rasa takut tertimpa musibah karena melihat objek yang dianggap membawa sial lalu tidak kita tanggapi dan kita terus melaksanakan urusan yang sudah kita rencanakan, ini tidak masalah. Bahkan Nabi katakan,

 

“Tidak ada satu pun dari kita yang selamat” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).

 

Artinya, setiap dari kita bisa saja muncul dalam hatinya anggapan sial dan khawatir tertimpa musibah karena munculnya hewan atau benda tertentu yang dianggap membawa sial. Ini merupakan perbuatan setan dan setan memang suka mendatangkan hal-hal yang merusak hati.

 

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan obatnya. Dalam lanjutan hadits di atas, beliau bersabda,

 

“Akan tetapi, Allah hilangkan itu semua dengan tawakkal

 

Tawakkal, berbaik sangka kepada Allah, dan memperbesar harapan kepada-Nya adalah obat untuk lepas dari keterkaitan hati dengan mitos-mitos sial.

 

Jika terlanjur membatalkan rencana karena berjumpa hal tertentu yang dianggap membawa sial, kaffarahnya ialah membaca doa,

 

“Allahumma laa khaira illaa khairuka wa laa thayra illaa thayraka wa laa ilaaha ghayruka”

 

“Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikanMu, tidak ada keburukan melainkan atas ketetapan-Mu, dan tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.” (H.R. Ahmad)

 

Semoga Allah menganugerahkan kita hati yang senantiasa tawakkal dan bersandar hanya pada-Nya.

 

***

Rujukan:

  • Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin
  • At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alusy Syaikh
  • Taisirul ‘Azizil Hamid, Sulaiman bin ‘Abdillah
  • Where Do Superstitions Come From, Stuart Vyse, https://ed.ted.com/lessons/where-do-superstitions-come-from-stuart-vyse

 

Pembahasan terkait:

https://muslimah.or.id/40-jauhkan-anak-dari-tathoyyur.html

 

Disusun oleh Miftah Hadi Syahputra Anfa, S.Si. (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Dimurajaah oleh Ustaz Abu Salman, B.I.S.


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/duh-sial-lagi/